PENDAHULUAN
Pendidikan
bukan sekedar mengajarkan atau mentransfer pengetahuan, atau semata
mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter,
moral, nilai-nilai dan budaya serta didik. Dengan kata lain, pendidikan adalah
membangun budaya, membangun peradaban, membangun masa depan bangsa. Karena itu,
untuk meningkatkan harkat dan martabat sebuah bangsa pada era global ini, tidak
ada jalan lain kecuali dengan meningkatkan kualitas
pendidikan.Dengan meningkatkan kualitas pendidikan maka akan tercipta kesatuan
utuh dalam rencana dan gerak langkah pembangunan bangsa di masa depan. Sebab,
kualitas pendidikan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia suatu
bangsa. Kualitas pendidikan mesti bersandar pada segenap aspek yang terdapat
dalam diri manusia atau warga negara. Dan yang penting disadari ialah
bahwa pendidikan merupakan sebuah proses, sesuatu yang terus diperjuangkan
perbaikan dan kemajuannya. Meminjam ungkapan Mendiknas, pendidikan Indonesia
adalah sebuah proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, yang setidaknya
akan termanifestasikan dalam tiga hal, penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan
).
Berbicara
tentang pendidikan, kita tidak bisa lepas dari pada tenaga pendidik itu
sendiri. Agar bisa menjadi tenaga pendidik yang baik dan profesional. Di
samping mempunyai atau memiliki ilmu dan seni dalam mendidik, seorang pendidik
itu harus memiliki wibawa (gezag).
Di dalam makalah ini kami akan membahas tentang kewibawaan
di dalam pendidikan.jika di dalam
penulisan ataupun di dalam pemaparan mohon di maklumi,kritik serta saranpun
kami terima dengan lapang dada,tujuannya tidak lain hanya untuk perbaikan kami
kedepannya.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kewibawaan (Gezag)
Gezag berasal dari kata zeggen yang berarti:berkata Siapa yang perkataannya
mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti mempunyai kewibawaan
atau gezag terhadap orang itu. (Tim Prima Pera: 2006=147)Gezag atau
kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Dapatkita
katakan bahwa kewibawaan yang ada pada orang tua (ayah dan ibu) itu adalahasli.
Orang tua dengan langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik
anak-anaknya. Orang tua atau keluarga mendapat hak untuk mendidik anak-anaknya,
suatu hak yang tidak dapat dicabut, karena terikat oleh kewajiban. Hak dan
kewajiban yang ada pada orang tua itu keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Untuk jelasnya dapat
penulis kemukakan contoh dibawah ini.Pada suatu sekolah ada seorang guru yang
bernama Bapak Budi yang sangat disegani oleh
murid-muridnya. Mereka (murid-murid) sangat takut dan patuh kepadanya. Setiap
harinya, sebelum Pak Budi masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah duduk dengan
tenang dan tertib menantikan Pak Budi itu mengajar. Semua perintah dan
larangannya serta nasihatnya yang diberikan kepada murid-muridnya, diturut dan
dipatuhi oleh anak-anaknya. Anak-anak hormat kepadanya.Sebaliknya dengan Bapak
Salim yang ada di sekolah itu. Ia kurang disegani anak-anak muridnya. Setiap
pak Salim mengajar, anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut dalam kelas, sehingga kelas
menjadi ribut. Peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat yang diberikannya
tidak atau kurang dihiraukannya oleh murid-muridnya. Anak-anak tidak merasa
segan atau patuh kepadanya. Perintah-perintah atau tugas-tugas yang
diberikannya, sering kalau tidak dikerjakan oleh murid-muridnya. Karena itu pak
Salim seringkali marah dan menghukum anak dalam kelas. Tetapi anakitu bukan
semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya.Anak-anak maumengerjakan apa yang
diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena insaf atau percaya
kepadanya.
Dari contoh di atas dapat kita mengatakan, bahwa Bapak Budi lebih
berwibawa, lebih mempunyai kewibawaan atau gezag daripada Bapak Salim. Anak-anak
lebih patuh dan lebih segan terhadap Bapak Budi. Segala sesuatu yang
diperintahkan atau dinasihatkan ataupun diperingatkan oleh Bapak Budi, lebih
meresap dan lebih mudah serta dengan senang menjalankan daripada Bapak Salim.
Atau dengan kata lain: pengaruh yang ditimbulkan oleh Bapak Budi lebih dipatuhi
oleh anak-anak.
2. Kewibawaan Orang Tua dan
Kewibawaan Guru.
Orang tua (ayah dan ibu) adalah
pendidik yang terutama dan yang sudah semestinya. Merekalah pendidik asli, yang
menerima tugasnya dari kodrat, dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Karena
itu sudah semestinya mereka mempunyai kewibawaan terhadap anak-anaknya.Adapun
kewibawaan orang tua itu terdiri dari 2 sifat :
1) Kewibawaan
pendidikanIni berarti bahwa dengan kewibawaannya itu orang tua bertujuan
memelihara keselamatan anak-anaknya, agar mereka dapat hidup terus, dan
selanjutnya berkembang jasmani dan rohaninya menjadi manusia dewasa. Adapun
nasihat-nasihat yang dimintanya atau diterimanya dari orang tua meskipun orang
yang meminta atau menerima nasihat itu sudah dewasa, dan banyak juga yang
dituruti. Tetapi hal itu hendaknya timbul dari hati yang tulus ikhlas,
tidak karena keharusan.
2) Kewibawaan keluargaOrang tua
merupakan kepala dari suatu keluarga.
Tiap-tiap keluarga merupakan masyarakat kecil, yang sudah tentu
dalam masyarakat itu harus ada peraturan-peraturan
yang harus dipatuhi dan dijalankan. Tiap-tiap anggota keluarga harus patuh
kepadaperaturan-peraturan yang berlaku dalam keluarga itu. Dengan demikian
orang tua sebagai kepala keluarga dan dalam
hubungan kekeluargaannya mempunyai wibawa terhadap anggota-anggota keluarganya.
Kewibawaan keluarga itu bertujuan untuk pemeliharaan dan keselamatan keluarga.
Tiap anggota keluarga harus tunduk kepada kewibawaan keluarga, selama ia
menjadi anggota keluarga itu. Soal sudah dewasa atau belum, itu bukan soal yang
penting lagi.
Kewibawaan
guru atau pendidik (yang bukan orang tua) menerima jabatannya sebagai pendidik bukan
dari kodrat (dari Tuhan), melainkan ia menerima jabatan itu dari pemerintah. Ia
ditunjuk, ditetapkan, dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara atau
masyarakat. Maka dari itu kewibawaan yang ada padanya pun berlainan dengan
kewibawaan orang tua.Kewibawaan guru atau pendidik juga ada 2 sifat :
1) Kewibawaan
pendidikanSama halnya dengan kewibawaan pendidikan yang ada pada orang tua,
guru atau pendidik karena jabatan berkenaan dengan jabatannya sebagai pendidik,
telah diserahi sebagian dari tugas orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Selain
itu, guru atau pendidik karena jabatan menerima kewibawaannya sebagian lagi
dari pemerintah yang mengangkat mereka. Kewibawaan pendidikan yang ada pada
guru ini terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan kepadanya, dan
setiap tahun berganti murid.
2) Kewibawaan memerintah Selain memiliki kewibawaan
pendidikan,guru atau pendidik karena jabatannya juga mempunyai kewibawaan memerintah.
Mereka telah diberi kekuasaan oleh pemerintahatau instansi yang mengangkat
mereka. Kekuasaan tersebut meliputi pimpinan kelas; di sanalah anak-anak telah
diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan ini lebih luas, meliputi
pimpinan sekolahnya. (Ngalim Purwanto, 2000 : 49)
3. Fungsi Kewibawaan dalam
PendidikanPendidikan itu terdapat dalam pergaulan antara orang dewasa dengan
anak-anak. Sebab pergaulan antara orang dewasa sesamanya, orang menerima dan
bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh-pengaruh pergaulan itu.Demikian
pula pergaulan antara anak-anak dengan anak-anak biarpun sering kali seorang
anak menguasai dan dituruti oleh anak-anak lainnya tetapi kekuasaan atau gezag
yang terdapat pada anak itu tidak bersifat gezag pendidikan, karena kekuasaan
itu tidak tertuju kepada tujuan pendidikan.Dalam pergaulan baru terdapat
pendidikan jika di dalamnya telah terdapat kepatuhan dari si anak, yaitu
bersikap menuruti atau mengikuti wibawa yang ada pada orang lain; mau
menjalankan suruhannya dengan sadar. Tetapi tidak semua pergaulan antara orang
dewasa dengan anak-anak merupakan pendidikan; ada pula pergaulan semacam itu
yang mempunyai pengaruh-pengaruh jahat atau pergaulan yang netral
saja. Satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh
yang menuju ke
kedewasaan si anak: untuk menolong si anak menjadi orang yang kelak dapat atau
sanggup memenuhi tugas hidupnya dengan berdiri sendiri.Tidak setiap macam
tunduk menurut terhadap orang lain (seperti menurut perintah-perintah anak
lain) dapat dikatakan tunduk
terhadap wibawa pendidikan. Bagaimana sikap anak terhadap kewibawaan pendidik?
Dalam hal ini
Langeveld menjelaskan dengan dua buah kata:
a)
Sikap menurut atau mengikut (volagen), yaitu mengakui
kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk
atau menuruti yang sebenarnya
b)
Sikap tunduk atau patuh , yaitu dengan sadar mengikuti
kewibawaan, artinyamengakui hak pada orang lain untuk memerintah dirinya, dan
dirinya merasa sendiri terikat akan memenuhi perintah itu.Dalam hal yang
terakhir inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak ke arah
pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan
mau menjalankannya. (Athiyah Alabrasy, 2001 : 55)
4. Kewibawaan
dalam Masyarakat dan Kewibawaan dalam Pendidikan
Agar lebih jelas mengenai apa yang dimaksud dengan kewibawaan pendidikan
dan bagaimana melaksanakan kewibawaan itu di dalam praktek mendidik anak-anak,
perlu kiranya kita adakan perbandingan antara kewibawaan yang berlaku di dalam
masyarakat dengan kewibawaan yang berlaku bagi pendidikan.
a. Kewibawaan
dalam Masyarakat
1) Dalam
masyarakat harus ada wibawa, supaya dapat tercapai maksud masyarakat itu,
yaitu: kesejahteraan umum. Di dalam negara (yang berdasar demokrasi) ada 3
badan yang memegang kewibawaan, yaitu badan kekuasaan legisltif, eksekutif dan
yudisial.Anggota-anggota masyarakat adalah orang-orang yang telah dewasa,yang
berarti bahwa mereka sudah seharusnya mempunyai cukup kesadaran akan keharusan
dan faedahnya kewajiban-kewajiban itu mengurangi kebebasan mereka. Jadi
mempunyai pengertian tentang norma-norma atau ukuran hidup.
2) Masyarakat
menurut atau patuh kepada pendukung-pendukung kekuasaan pemerintah itu bukan
karena sempurnanya kepribadiannya, tetapi hanya karena orang-orang itu telah
mendapat pengangkatannya untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya. Kita menurut kepada seorang bupati; dan
sebagai bupati ia berhak mengeluarkan peraturan-peratutan dan melaksanakannya,
dengan sendirinya dalam batas-batas kekuasaannya saja.
3) Sebaliknya, pemerintah meminta
kita semua mentaati segala peraturannya. Bagaimana kebatinan kita
(masing-masing orang) yang sebenarnya setuju
atau tidak, mengeritik atau tidak pemerintah
tidak mengindahkannya, asal kita taat kepada apa yang diperintahkannya. Jadi
kekuasaan pemerintah hanya mengenai perbuatan-perbuatan kita yang lahir; selama
perbuatan-perbuatan kita yang lahir ini sesuai denganperaturan-peraturan, kita
adalah warga negara yang baik, dan kita telah memenuhi kewajiban kita.
4) Kewibawaan
dan pelaksanaan kewibawaan dalam masyarakat tidak menjadi berkurang, melainkan
tetap stabil, karena tujuannya ialah hendak mengatur perputaran masyarakat yang
baik. Selama kita hidup dalam masyarakat, kita tetap taat di bawah kewibawaannya
dan negara tetap akan melaksanakan kewibawaannya di atas kita.
b. Kewibawaan dalam Pendidikan
1) Pelaksanaan kewibawaan dalam
pendidikan itu harus bersandarkan perwujudan norma-norma dalam diri si pendidik
sendiri.
Justru karena wibawa itu mempunyai tujuan untuk membawa si anak ke tingkat
kedewasaannya, yaitu mengenal dan hidup yang sesuai dengan norma-norma, maka menjadi syaratlah bahwa si
pendidik memberi contoh dengan jalan menyesuaikan dirinya dengan norma-norma
itu sendiri.Tidak ada seorang pun yang lebih banyak kewibawaannya daripada
mereka yang mewujudkan kewibawaan itu dalam dirinya sendiri.
2) Dalam pendidikan, pertama-tama yang kita tuju ialah bahwa si anak dengan
sepenuh kepercayaannya menyerahkan dirinya kepada pendidiknya (orang tuanya), dan
dengan demikian mencapai penyesuaian batin. Bila tidak, kita tidak akan dapat
mencapai tingkatan di atas dresur, yang berarti si anak hanya mengerjakan apa
yang diperintahkan saja, dan kita tidak dapat mencapai: si anak itu mengenal
nilai-nilai, dan dengan keyakinan hidup menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
itu.
3) Wibawa dan pelaksanaan wibawa dalam masyarakat tetap, akan tetapi dalam
pendidikan akan selalu menjadi berkurang, dan akhirnya selesai bila telah
tercapai tingkat kedewasaan.Ini tidak berarti bahwa si anak (yang telah dewasa
itu) tidak lagi perlu mengakui adanya kewibawaan; sebaliknya dengan
kesukarelaan dan keikhlasan sendirilah si anak mengakui adanya wibawa negara,
Tuhan, dan berusaha hidup sesuai dengan kewibawaan itu. Itulah arti kedewasaan yang
tepat. (Ngalim Purwanto, 2000 : 57)
5. Kewibawaan dan Identifikasi
Di atas telah dikatakan bahwa tujuan dari wibawa dalam pendidikan itu
ialah, dengan wibawa itu di pendidik hendak berusaha membawa anak itu ke arah
kedewasaannya. Ini berarti, secara berangsur-angsur anak dapat mengenal
nilai-nilai hidup atau norma-norma (seperti norma-norma kesusilaan, keindahan,
ketuhanan dan sebagainya) dan menyesuaikan diri dengan norma-norma itu dalam
hidupnya.Syarat mutlak dalam pendidikan ialah adanya kewibawaan pada si
pendidik. Tanpa kewibawaan itu, pendidikan tidak akan berhasil
baik.Dalam setiap masam kewibawaan terdapatlah suatu identifikasi sebagai
dasar. Artinya, dalam melakukan kewibawaan itu si pendidik mempersatukan
dirinya dengan didik, juga yang dididik mempersatukan dirinya terhadap
pendidiknya.
Jadi dalam hal ini identifikasi
mengandung dua arti :
a. Si pendidik mengindentifikasi
dirinya dengan kepentingan dan kebahagiaan si anak. Ia berbuat untuk anak
karena anak belum dapat berbuat sendiri; ia memilih untuknya; jadi untuk
anaknya itulah ia mengambil tanggung jawab, yang semestinya menjadi tanggung jawab anak itu
sendiri. Jadi si pendidik seakan-akan mewakili kata hati didiknya untuk
sementara.Si pendidik memilih, mempertimbangkan, dan memutuskan untuk anak
didiknya. Hal sedemikian dapat dipertanggung
jawabkan dan memang perlu, selama si anak itu sendiri belum dapat memilih,
mempertimbangkan dan mengambil keputusan untuk dirinya. Tetapi lambat-laun
camput tangan orang tua atau pendidik itu harus makin berkurang. Itulah syarat
untuk membuat si anak berdiri sendiri.
b. Si anak mengidentifikasi dirinya
terhadap pendidiknya. Identifikasi anak sebagai makhluk yang sedang tumbuh,
tentu saja berlain-lainan menurut perkembangan umurnya, menurut
pengalamannya.Pada anak dua kemungkinan cara mengidentifikasi itu :
1. Ia menurut dengan
sempurna, tidak menentang; perintah dan larangan dilakukansecara pasif saja.
Bahanyanya ialah, di dlam diri anak itu tidak tumbuh kesadaran akan norma-norma
sehingga karena itu ia tidak akan mungkin sampai pada tingkatan penentuan sendiri (mandiri).
2. Karena ikatan dengan sang pemegang-wibawa (pendidik)
terlalu kuat-erat sehingga merintangi perkembangan Aku anak itu. Tetapi ikatan yang sangat erat itu dapat juga menimbulkan usaha yang sangat
aktif untuk mencapai persamaan dengan pendidiknya berbuat seperti apa yang diharapkan dari pendidiknya atau si anak ingin menjadi sang pemegang-wibawa itu. Di sini pun masih ada pula bahayanya,
yaitu menututnya itu tidak seperti yang kita kehendaki, yakni memperoleh
norma-norma bagi diripribadinya.Anak yang menurut dapat memberikan gambaran
seakan-akan kita mencapai hasil baik dalam pendidikan kita. Tetapi
kita harus ingat, bahwa si anak harus kita didik tidak saja dengan hak, melainkan dengan kewajiban membawa dirinya ke suatu
tingkatan untuk makin dapat berdiri sendiri. Jadi hal itu berarti, identifikasi
si anak terhadap orang tua atau pendidiknya lambat-laun harus dilepaskan dari
sifat perseorangan, dan harus ditujukan kepada norma-normanya. Artinya: si anak
harus menunjukkan sifat menurut bukan karena diri si pendidik itu, melainkan
karena norma-norma dan nilai-niali dalam pribadi pendidiknya itu; si anak harus
ditujukan kepada norma-norma itu. (Ngalim Purwanto, 2008 : 59)
KESIMPULAN
1. Wibawa adalah gezag, yang
terdapat pada seseorang, wibawa itu tidak di milikioleh semua orang tetapi
hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Wibawa atau gezag bisa saja ada pada
seseorang mungkin melalui tutur katanya, perbuatannya tingkah laku dan ilmu pengetahuannya.
2. Orang tua adalah pendidik yang utama mereka adalah pendidikan asli, yang
menerima tugas dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mendidik anak-anaknya oleh karena
ituorang tua harus mempunyai wibawa terhadap seluruh keluarganya.
3. Fungsi kewibawaan dalam pendidikan ialah membuat si anak
mendapat nilai-nilaidan norma-norma hidup.
4. Indentifikasi pada diri pribadi pendidiknya, dengan demikian kemudian
ternyata nilai-nilai dan norma-normanya, kelak dia lebih melepaskan diri dari
di sipendidiknya dan lebih lagi mewujutkan dirinya kepada nilai-nilai dan norma
itu.
DAFTAR PUSTAKA
v
Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Nuansa Aksara,
Yogyakarya, 2005
v
Firdaus M.Yunus, Pendidikan Berbasis Realita, Lagung
Pustaka, Yogyakarta, 2004M.
v
Athiyah
Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan, Bulan Bintang, Jakarta, 2001
v
Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Karya, Bandung, 2000
v
Tim Prima
Pena, Kamus Ilmiah Populer, Gita Media Press, Surabaya, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar